PENTIGRAF : Hikmah Atau Bukan Hikmah?
Aku bergegas bangun begitu alarm di HPku
berbunyi. Jam 3 pagi. Kulanjutkan mandi, karena sebelum jam 4 aku harus berangkat ke Malang. Aku harus sampai kampus jam 7
tepat. Sebetulnya berangkat jam segitu masih membuatku was-was terlambat.
Tetapi tidak mungkin aku berangkat lebih awal lagi sebab takut juga bermotor
jam segitu melewati jalur Lumajang selatan. Kubangunkan pelan-pelan istriku,
seperti biasa, dengan memijat lembut jari-jari kakinya agar dia terbangun
secara wajar, dan tidak kaget. Kasihan aku kalau dia sampai kaget. Begitupun
dia masih agak kaget juga. Hmmm kaget aku. Dia segera beranjak untuk menyiapkan
bontotku yang sebetulnya sudah dipersiapkan tadi malam. Nasi dan lauk jerohan
ayam bumbu pedas.
Kurang seperempat jam pukul empat. Tak
bisa dong aku menunda keberangkatanku, atau aku terlambat masuk kuliah. Setelah
kucium pipi kiri, kanan dan kening istriku, akupun berangkat. Kupacu motorku
dan aku berusaha melawan rasa dingin dengan menggunakan jaket dan sarung
tangan. Aku ingin agar aku dapat mencapai Pronojiwo sebelum jamaah subuh di
mulai. Ternyata aku hanya mampu sampai Desa Oro-oro Ombo untuk berjamaah subuh,
itupun masbuk. Menyesal kenapa tak berjamaah di Supiturang. Setelah solat
kustarter lagi motorku. Kali ini aku tambah benteng pertahananku dengan jas
hujan. Kukenakan setelan jas celana hujan walau tak ada hujan. Hmmm lumayan
agak hangat, berasa di dalam mobil. Terus aku berpacu dengan waktu karena aku
masih harus memakan bontotku. Alhamdulillah, aku sampai di salah satu masjid di
Kecamatan Dampit. Masjid langgananku. Matahari sudah mulai menyinari alam. Ku
buka bekalku di teras samping masjid dan kumakan cepat-cepat. Sungguh tidak
nikmat rasanya. Di teras depan ada dua orang pemuda yang beristirahat sambil
tiduran. Tak lama seorang satpan datang menghampiri pemuda tadi sambil
berteriak, ”Mas…Mas….!! Mau tutup”. Mereka lantas “kabur”. Si satpam melihat ke
arah saya. Saya menunggu teriakan itu yang gak kunjung ada. Ruapanya dia tahu
kalau saya mengerti. Ya… saya tahu diri. Kukahiri makanku dengan menyisakan beberapa
suap dan beberapa potong jerohan. Gerbang masjid memang belum dikunci tapi
sudah ditutup rapat. Dalam hatiku mengeluh, “Ya Allah, mengapa rumahMu ini
harus dijauhkan dari orang-orang yang singgah? Bagaimana kalau ada orang yang
ingin shalat dhuha, sekedar ke kamar mandi, atau ingin beristirahat?” Tapi
sudahlah, aku berpikir positif saja. Begitu kata kebanyakan orang bijak. Kupacu
motorku karena sejam lagi aku harus sudah tiba di tujuan. Semakin dekat
waktunya semakin kupacu motor di kemacetan Malang pagi. Rasanya gak nutut,
pikirku.
Akhirnya aku menganggap bahwa tadi
adalah hikmah, karena andai aku tidak “diusir”, mungkin aku belum sejauh ini.
“Alhamdulillah”, seruku dalam hati. Jam tujuh kurang 4 menit aku sudah memarkir
motorku, merapikan baju, menyisir rambut dan WA istriku. “Yang … sudah sampai”,
tulisku. Aku bergegas menuju ruangan dimana aku masih harus berjalan melewati 2
gedung. Masuk aku de dalam lift dan ku pencet angka 3. Lift mengangkatku ke
lantai tiga. Dan Alhamdulillah, benar-benar hikmah. Begitu aku masuk ruangan
tiga temankku sudah di sana, dan dosenku belum datang. Kamipun ngobrol ngalor
ngidul sambil menunggu dosen. 10 menit 20 menit belum juga beliau datang.
“Hikmah gak ya yang tadi itu”, pikirku dalam hati. Lebih dari satu jam kemudian
dosenku baru datang!
BS
lumajang
0 Response to "PENTIGRAF : Hikmah Atau Bukan Hikmah?"
Post a Comment