PENTIGRAF: Selamat Tinggal Munfarid
Dari motor yang ia
kendarai, Vian melihat temannya sedang bersantai di halaman rumahnya. Padahal
saat itu adzan sedang berkumandang. Dari gelagatnya Vian sudah mengira bahwa
temannya itu tidak akan berangkat ke masjid. Sambil terus memacu motornya,
dalam hati Vian menyayangkan temannya yang tidak pergi ke masjid untuk shalat asar
berjamaah. Vian juga menyayangkan orang-orang yang tinggal di sekitar masjid
yang tidak segera pergi untuk berjamaah. Dia merindukan punya rumah di dekat
masjid agar dia bisa ke masjid lebih awal, bisa berjalan ke sana, dan bisa
berlama-lama juga. Rumah Vian cukup jauh dari masjid untuk ditempuh dengan
jalan kaki. Jauhnya kira-kira 5 menit berkendara dengan motor. Di kantorpun
demikian. Vian tidak bisa mendengar suara tarhim di masjid sebagai tanda datang
waktu shalat dhuhur atau asar kecuali dia langsung melepas sepatunya untuk
ganti sandal dan bangkit dari duduk. Bergegas dia berangkat ke masjid dekat
kantor tempatnya bekerja. Tidak mau dia, atau akan merasa kecewa dia bila
sampai di masjid dia tidak bisa menjalankan shalat-shalat sunnah rowatib. Tidak
pernah Vian meninggalkan masjid sebelum dia shalat sunnah sesudah shalat
fardhu, di waktu-waktu shalat sesuai tuntunan. Dan lagi, setiap selesai
berjamaah subuh, ia langsung membaca beberapa lembar Al-quran. Vian terus
mempercepat laju motornya karena dia takut terlambat, sambil terus merasa sedih
melihat orang-orang tidak menghiraukan adzan.
https://islam.nu.or.id/post/read/75530/tiga-pelajaran-penting-bermasyarakat-dari-shalat-berjamaah
Lima tahun yang lalu. Vian tersenyum dan dalam hati tertawa saat melihat
tetangganya berangkat ke masjid dengan mengendarai motor. Dia tidak habis pikir
mengapa orang itu hilir mudik pergi ke masjid hanya untuk mengikuti shalat berjamaah.
Vian melihatnya sebagai sesuatu yang lucu. Namun demikian bukan berarti Vian
tidak shalat. Dia shalat sendiri, munfarid. Tidak pernah berjamaah. Dia juga
tidak pernah meninggalkan shalat lima waktunya. Bahkan dia kadang berjamaah
dengan keluarganya. Tetapi untuk urusan shalat berjamaah, terutama di Masjid,
bisa dikatakan tidak pernah kecuali shalat Jumat. Lebih parah lagi, dia juga
sering mengajak keluarganya sekedar makan malam di luar sesaat sebelum waktu
shalat maghrib tiba. Saat menungunggu pesanan makanan datang, adzan
berkumandang. Vian asyik mengobrol dengan keluarganya dan mengambil foto-foto
untuk diunggah ke media sosial. Tak sedikitpun ada keresahan di hatinya
kalau-kalau dia tidak bisa shalat maghrib. Dia pikir bahwa dia bisa shalat
sepulang dari makan malam. Padahal bisa dipastikan pulangnya sudah mendekati waktu
isya’. Tak jarang dia shalat isya’ jam setengah empat pagi!
Suatu hari, teman kantor Vian melarangnya menggelar sajadah di
ruang kerjanya. Tidak pantas dan merusak pemandangan katanya. Vian disarankan
shalat di mushola kantor. Pada dasarnya Vian tidak keberatan, tapi lama-lama
baper juga. Akhirnya dia mulai shalat di Masjid dekat kantornya. Aneh sekali
perasaannya. Vian merasa canggung dan seperti diawasi oleh ratusan pasang mata
ketika berada di dalam masjid. Selesai shalat, di serambi masjid dia duduk-duduk
dan menjalani ritual, nonton YouTube. Algoritma YouTube kadang terkesan tidak
teratur. Dengan malas Vian membuka video ceramah atas saran YouTube.
Qodarullah, ceramah itu cocok buat Vian karena isinya ringan, mengena, dan yang
penting jenaka.
http://keutamaanshalatdhuha.blogspot.com/2017/10/7-keutamaan-sholat-dhuha-yang-begitu.html
Vian semakin tertarik dengan ceramah-ceramah oleh ustad yang
belakangan dikenal sebagai UAS itu. Vianpun semakin sering menonton ceramah
dari UAS. Suatu ketika Vian mendapat ceramah tentang kewajiban shalat berjamaah
bagi kaum lelaki. Penjelasan yang paling dia ingat adalah soal shalat berjamaah
isya’ dan subuh. Ada hadits yang berbunyi: “Tidak ada shalat yang lebih berat
bagi orang munafik selain dari shalat shubuh dan shalat isya’. Seandainya
mereka tahu keutamaan yang ada pada kedua shalat tersebut, tentu mereka akan
mendatanginya walau sambil merangkak.” Hadits itulah yang membuat Vian secara
keseluruhan berubah. Tak terasa Vian sudah sampai di halaman masjid. Buru-buru
dia parkir motor sekenanya. Berlari kecil dia menuju ruang utama masjid. Benar,
dia terlambat. Imam sudah takbir.
BS-Lumajang
0 Response to "PENTIGRAF: Selamat Tinggal Munfarid"
Post a Comment